BIASAN ANGGUR MERAH

Ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, sudah tak khayal lagi jika semua orang merasakan bagaimana Iika - liku kehidupan di masa itu. Baik itu kesenangan, kebersamaan, dan  kesedihan di lalui nya. Itulah yang sekarang saya alami. 

Betapa silaunya biasan cinta yang ku terima. Bahkan, kerasnya tempurung bisa lembek karenanya, tegapnya tiang bisa runtuh olehnya. Saat mata menoleh kepadanya, rayuan rayuan ingin segera keluar dari mulut yang sudah menganga oleh gemerlapnya kisah pada saat duduk di masa masa kenangan tersebut.

Siang itu, mataku tersorot oleh binaran cahaya dari dua biji bola mata yang teramat eloknya, bahkan fatamorgana yang muncul di saat itu, kalah oleh semburan sorot matanya. Meskipun sudah lama mengenalinya, hatiku bertanya tanya "Mengapa hari ini binar matanya begitu berbeda, tak seperti biasanya." hatiku terus bergumam bertanya tanya yang di iringi oleh kencangnya degupan jantungku karena hembusan matanya yang terus memandangiku. 

Biasan Anggur Merah

Mataku hanya bisa menjawab dengan sedikit kerutan di kelopak kanan, sambil melemparkan senyuman ke arah dari mana binaran mata itu berasal. Mungkin inilah yang dinamakan jatuh pandangan, yang nantinya akan membuat luka di hati yang disebut dengan 'cinta'.

Berawal dari pandangan tersebut, kini pikiranku telah di rasuk roh melaluI spektrum binaran cahaya yang di pancarkan oleh kedua biji bola mata yang begitu lugunya. Kami pun sekarang semakin dekat dan mungkin lebih dekat lagi di bandingkan dengan dekatnya kedua bola mata.


Deringan bel masuk berbunyi, mengiringi langkah kaki untuk segera melangkah masuk ke dalam ruangan kelas. Tanpa di sengaja, kami berbarengan masuk ke dalam kelas melalui celah pintu kecil yang hanya muat untuk dua orang. Aku merasakan lembutnya kulit yang mengguncangkan jiwaku, ku lirikan kedua mataku untuknya, kubinarkan sorotan mata yang penuh dengan isyarat kepadanya. Jika boleh, mataku ingin sekali mengirimkan bisikan relung hatiku yang sedang di mabukkan oleh merahnya anggur merah yang sedang ada dalam puncak fermentasinya.

"Awww..." desahan yang kudengar keluar dari kotak suara kecil yang telah menggertak gendang telingaku, merdunya suara burung pun kalah dengan usikan suara itu. Jika boleh, telingaku ingin sekali melayani merdunya suara itu. Tapi apalah daya, kini rohaniku telah dihipnotis oleh lusuhnya dzikir mahabah. Aku hanya bisa melemparkan senyuman penuh makna kepadanya.

Oasis yang ku tapaki sekarang sudah mulai berubah menjadi hamparan sabana yang begitu sejuk, hari semakin hari tampaknya dia juga mulai nyaman dengan sikapku. Dan pada akhirnya kami pun ada di dalam satu kidung yang penuh dengan sajian suka cita.

Sungguh teringat sekali ketika dia pertama kali melantunkan sya’iran yang begitu menggugahkan jiwa yang sedang tersesat di tengah gurun pasir yang penuh dengan tipu daya oasis - oasis di sekeliling mata memandang. Kini semua dahaga terlepas sudah ketika tetesan kecutnya anggur merah yang telah memabukkan hatiku.

Sorotan mata itu kini berubah menjadi lengkungan pelangi yang begitu indah, karena telah membiaskan derasnya hujaman panah asmara.

Hembusan angin telah mengantarkan sebuah geranat putih bergaris biru yang mendarat tepat di depan wajahku. Dan ketika ku sergap geranat itu, ternyata masih terdapat ring yang melingkar di daerah pemantiknya. Entah apa yang ada di pikiranku?, tanganku langsung saja di perintahkan untuk segera membuka ring yang masih melekat pada granat tersebut. Ketika tanganku membukanya, kurasakan dentuman keras di mataku yang serentak langsung melihat tulisan yang terbentuk dalam rangkaian asap hitam bertuliskan: “Apa kabarnya? Semoga kamu ada dalam keadaan yang sehat dan sempurna.” Hatiku terheran heran, kenapa tak seperti biasanya, dia yang selama ini hanya melihatku kini dia mengirimkan satu pesan kepadaku bermediakan gulungan kertas berpita merah. Sambil menatapnya aku hanya bisa tersenyum kembali, dan baru kali ini aku mengeluarkan suara untuknya secara spontan. “Aku baik baik saja, kamu bagaimana kabarnya? Sambil kulemparkan senyuman manis kepadanya.

Dari lemparan selembar kertas kini berubah menjadi obrolan yang begitu panjang, menambah kedekatan antara kami berdua, dari sanalah kutemukan sinar kasih sayang yang tumbuh bersamaan dengan ketulusan dari kami berdua. Memang, pertamakali kami hanya basa basi, namun saya yakin bahwa ini bukan hanya basa basi yang seperti biasanya. Hal itu bisa ku temukan dari gesture tubuh yang dia lantunkan di hadapanku.

Sekarang aku mulai berani untuk melontarkan lantunan lantunan kasih sayang kepadanya, aku tak ingin mengharapkan kepada hembusan angin yang akan membisikkan isi pesan ku kepadanya. Keberanian ini muncul setelah hati ini terikat kuat oleh simpul yang di ikatkan oleh sinaran ketulusan yang dia pancarkan.


Tapi hatiku selalu bertanya, kenapa hati ini tak siap untuk langsung menyatakan perasaan cinta ini kepadanya?. Haruskah aku meminta bantuan kembali kepada hembusan angin agar dapat menyampaikan perasaan yang aku alami sekarang?. Hati ini menggebu gebu, segera ingin menyambungkan simpul yang telah dia ikatkan kepadaku.

Setelah beberapa waktu kami beradaptasi dengan kesejukan, akhirnya terlahirlah sebuah keberanian untuk mengungkapkan apa yang inginku sampaikan, yang dulu tak ku sangka akan terjadi. Sekarang aku merasakan kehalusan cinta yang membuatku kepincut tiada terkira, ku tuliskan sepucuk surat yang ku selipkan di antara bunga mawar merah yang aku berikan kepadanya. Aku menunggu selama beberapa hari, selama itu aku hanya di temani dengan ketegangan, untuk bertanya kepadanya pun sekarang terasa segan.

Tepatnya pada tanggal 21 Agustus ada seorang adik kelas menghampiriku saat aku duduk di depan taman sekolah. Dia membawakan sesuatu kepadaku, yang ternyata itu adalah balasan dari ungkapan yang ku sampaikan. Kutunggu adik kelasku pergi meninggalkanku sendirian. Setelah itu aku buka pesan yang tadi di sampaikannya kepadaku.

Perlahan ku buka dengan penuh harapan akan adanya tulisan lembut yang dia ungkapkan kepadaku. Jari jemariku bergetar saat tergores oleh pinggiran kertas yang masih tajam dan belum lusuh. Setelah kubaca isi surat tersebut, hatiku merasakan hal yang tak terkira, dari suasana yang begitu harap harap cemas kini di mabukkan oleh indahnya isi balasan pesan yang dia persembahkan hanya untukku.
Wanginya mawar merah kalah dengan wanginya taman kasturi yang kita hamparkanIndahnya pemandangan kalah dengan indahnya pelangi yang kita ciptakanTingginya menara kalah dengan tingginya kepercayaan diantara kitaLuasnya sabana kalah dengan luasnya keterbukaan diantara kitaAku juga merasakan hal yang sama, hatiku terasa tenang dan nyaman ketika jasad ini dekat dengan tulang rusukmu. Sungguh ini adalah hal yang sangat tak ku kira. Ketika orang yang selama ini aku rindukan datang menghampiriku.Aku hanya bisa terdiam dan menulis. Bahwa aku juga ingin menjadi sebagian dari hidupmu. Aku ingin bahagia denganmu.

Kutipan surat itu sangat membuatku semakin tenggelam dalam lautan anggur merah yang dalam dengan di soroti oleh binaran cahaya dari matanya. Diriku terasa ada dalam puncak keistimewaan. Inilah mungkin yang dinamakan cinta pertama, selalu ada membekas di dalam lubuk hati yang terdalam.

DERI ISKANDAR