Kisah Inspiratif Anak Miskin Jadi Dokter Sukses: Perjuangan Anisa Rahma dari Desa ke UI

Kisah Inspiratif Anak Miskin Jadi Dokter Sukses: Perjuangan Anisa Rahma dari Desa ke UI

Kisah Inspiratif

Bismillahirrahmanirrahim.

Namaku Anisa Rahma, aku berasal dari sebuah desa kecil yang jauh dari keramaian kota. Kini usiaku 28 tahun. Aku terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. 

Ayahku, Pak Mahfud, adalah seorang pegawai negeri dengan penghasilan terbatas, sementara ibuku, Bu Aminah, seorang ibu rumah tangga yang membantu ekonomi keluarga dengan berjualan jajanan keliling kampung.

Lahir Prematur, Dirawat Seadanya

Aku dilahirkan dalam kondisi prematur. Tubuhku kecil dan lemah. Karena keterbatasan biaya, orang tuaku tidak bisa merawatku di rumah sakit. Dengan segala upaya dan kasih sayang, aku dirawat di rumah menggunakan peralatan seadanya. Bahkan untuk menghangatkanku, digunakan lampu belajar bekas pemberian tetangga. Doa dan harapan orang tuaku hanya satu: aku bisa tumbuh normal seperti anak-anak lainnya.

Kecelakaan di Usia 5 Bulan

Saat usiaku lima bulan, aku terjatuh dari tempat tidur. Waktu itu, ibuku sedang membuat kue untuk dijual. Tangisanku yang keras membuat ibu panik. 

Meski tidak tampak cedera, sejak kejadian itu tubuhku mulai menunjukkan kekakuan gerak. Seiring waktu, gerakan tubuhku makin terbatas. 

Ketika usiaku cukup, orang tuaku membawaku ke rumah sakit di kota dengan tabungan seadanya. Di sanalah aku pertama kali bertemu dr. Mila, seorang dokter cantik dan lembut yang menyampaikan bahwa aku mengalami kelainan pada tulang.

Terapi Mandiri dengan Cinta

Karena keterbatasan dana, perawatanku tak bisa dilanjutkan di rumah sakit. Tapi semangat ayah dan ibu luar biasa. 

Ibu mempelajari terapi sederhana dan merawatku sendiri di rumah, sementara ayah membuat alat bantu jalan dari bambu. 

Setiap pagi sebelum berangkat kerja, ayah melatihku berjalan. Meski lelah, senyum mereka tidak pernah pudar. Mereka tidak pernah mengeluh, hanya doa yang terus mengiringi perjuangan kami.

Cita-Cita Jadi Dokter

Memasuki usia sekolah, gerak tubuhku masih terbatas. Bahkan di SMA, aku masih perlu diantar jemput oleh ibu. Tapi tekadku tak pernah surut. 

Aku ingin menjadi dokter, lebih tepatnya dokter spesialis bedah tulang seperti dr. Mila, yang dulu pernah menanganiku.

Di tengah keterbatasan, aku mendapat bantuan biaya pendidikan dari seorang dermawan di desa bernama Haji Soleh

Beliau adalah pedagang pasar yang hidup sederhana, namun hatinya luar biasa besar. Beliau membantuku menyelesaikan pendidikan hingga lulus SMA dengan nilai yang sangat baik.

Diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Allah Maha Mendengar doa hamba-Nya. Aku diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, kampus impianku. 

Namun, di tengah kebahagiaan itu, aku harus kehilangan sosok yang paling berharga—ayahku meninggal dunia karena serangan jantung sesaat setelah mendengar kabar aku diterima kuliah.

Sejak saat itu, ibu memutuskan untuk pindah ke Jakarta dan menemani perjuanganku. 

Beliau bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah seorang dokter yang juga dosenku, dr. Sudiyanto, spesialis ortopedi. Dari sinilah kisah hidupku berubah drastis.

Pengobatan Gratis dan Kesembuhan

Melihat kondisiku, dr. Sudiyanto merasa prihatin. Beliau bersedia membantuku menjalani terapi medis tanpa biaya. 

Dalam waktu 1,5 tahun, aku bisa berjalan normal dan tanganku mulai lentur seperti orang lain. Semua ini berkat pertolongan Allah, doa ibu, dan kebaikan orang-orang di sekitarku.

Karena termasuk mahasiswa berprestasi dari keluarga kurang mampu, aku mendapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah hingga lulus menjadi dokter umum. 

Tak berhenti di situ, aku melanjutkan pendidikan dokter spesialis ortopedi dan menyelesaikannya dalam tiga tahun.

Momen Wisuda dan Lamaran Tak Terduga

Hari wisudaku tiba. Malam sebelumnya aku tidak bisa tidur. Aku memandangi wajah ibu yang sudah menua, letih, namun penuh kebahagiaan. 

Dalam hati aku berkata: "Ibu, gelar ini untukmu. Aku hanya perantara. Engkaulah pejuang sejati yang pantas mendapatkannya."

Pagi harinya kami hendak pergi ke wisuda dengan naik becak, tapi tiba-tiba dr. Ade Sutisna, putra sulung dr. Sudiyanto, datang menjemput. 

Ia memaksa kami ikut dengannya. Ternyata kejutan besar menanti—malam harinya keluarganya datang melamarku untuk dijodohkan dengan dr. Ade. 

Rupanya sejak aku masuk kuliah, beliau sudah menaruh hati padaku tanpa sepengetahuanku.

Menikah dan Menjadi Keluarga Sakinah

Dua tahun setelah itu, kami menikah. Hidup kami sederhana tapi penuh berkah. Aku terus mengabdi sebagai dokter dan menjadi istri sekaligus anak yang selalu mendoakan almarhum ayah.

Setiap langkah dalam hidupku adalah bukti bahwa doa ibu tak pernah sia-sia. Tak ada perjuangan yang sia-sia selama kita yakin, bersabar, dan tetap berikhtiar.


Dari Desa Terpencil Menuju Dunia Medis

Kisah hidupku bukan sekadar cerita tentang perjuangan dari kemiskinan, tapi kisah tentang cinta orang tua, kekuatan doa, dan bagaimana Allah menyiapkan jalan bagi siapa pun yang tidak menyerah pada keadaan.

Semoga kisah ini bisa menjadi inspirasi bagi siapa saja yang sedang berjuang dari nol. Yakinlah, tidak ada mimpi yang terlalu tinggi bila disertai doa, usaha, dan restu orang tua.