Rukun Islam 5 Haji

Rukun Islam 5 Haji merupakan rukun yang bisa meyempurnaakan derajat seseorang muslim dalam keimanannya disisi Allah swt. bahkan derajat kemanusiaannya. Kali ini akan disajikan terjemah kasyifatussaja yang mengupas pembahasan haji. Selamat mengkaji. Namun sebelum itu kami ingatkan kembali bahwa penting sekali mengkaji terlebih dahulu terjemah kasyifatussaja yang membahas; Rukun Islam 4 Puasa Ramadhan dan Rukun Islam 3 Zakat
Safinah : MELAKSANAKAN HAJI KE BAITULLAH UNTUK ORANG YANG MEMILIKI KEMAMPUAN DALAM MELAKUKAKAN PERJALANAN 
Rukun Islam ke-5 adalah melaksanakan haji ke baitullah; yaitu, menuju kesana untuk melaksanakan haji atau umroh bagi mereka yang mampu melakukan perjalanan kesana. -Haji- adalah bagian dari syari'at terdahulu (sebelum Islam datang), bahkan tidak ada Nabi kecuali dia melaksanakan haji kecuali dua orang nabi yaitu Nabi Hud dan Nabi Shalih.

Rukun Islam 5 Haji

Diriwayatkan bahwa Nabi Adam AS melaksanakan haji selama 40 tahun dengan berjalan kaki dari India. Termasuk Nabi Isa AS telah melaksanakan haji sebelum ia diangkat ke langit dan akan berhaji ketika ia turun kembali ke bumi.

Dalam sebuah khobar : "Barang siapa yang melaksanakan ibadah haji dan orang lain selamat dari tangan dan lisannya maka akan diampuni dosanya yang telah terdahulu dan terakhir" (al-Jami'us-Shohgir no; 8959). "Menginfakkan satu dirham disaat haji mengimbangi beribu-ribu -dirham- pada selainnya (selain haji)"

Telah datang dalam sebuah khobar "bahwa 1000 orang-orang berhaji di baitul haram setiap tahunnya, jika kurang dari 1000 maka Allah akan menyempurnakannya dengan para malaikat. Apabila lebih dari 1000 Allah melakukan apa yang Dia kehendaki. Kemudian baitul makmur dilangit ke emepat malaikat melaksanakan haji disana serperti manusia yang melaksanakan haji di baitil haram.

Catatan

Dihikayatkan dari Muhammad ibn al-Munkadir, sesungguhnya dia melaksanakan haji sebanyak 33 kali. Pada terakhir kali dia melaksanakan haji, di arafah beliau berucap; wahai Allah sesunggunnya Engkau mengetahui bahwa aku telah wukuf ditempat wukuf ini sebanya 33 kali wukuf. Maka hajiku yang pertama untuk menunaikan kewajibanku, hajiku yang kedua untuk ayahku dan hajiku yang ke tiga untuk ibuku. Aku mempersakasikan kepadaMu wahai Tuhan, sesungguhnya aku berikan 30 hajiku untuk orang yang berwukuf ditempat wukuf ini dan tidak diterima wukufnya.

Kemudian ketika dia (Muhammad ibn al-Munkadir) dari Arafah ke Muzdalifah dia di panggil didalam mimpinya: hai ibn al-Munkadir! Apakah engkau sedang memuliakan kepada seluruh makhluk yang mulia dan pemurah?! -Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman kepadamu;_ demi keagungan dan kebesaranku; sungguh akau telah mengampuni orang yang berwukuf di Arafah sebelum aku mnciptakan Arafah dalam jarak seribu atau dua ribu tahun.

Penjelasan

pekataan penulis (Salim ibn Sumair) Hajjun atau Hijjun dengan h difathahkan atau di kasrahkan adalah -bentuk- mashdar yang di idhafahkan kepada maf'ulnya. kemudian "man" adalah fa'ilnya dan merupakan isim maushul yang dimabnikan pada sukun -berada- ditempat rafa'. Takdirnya adalah wa an yahujja al-baita al-mustati'u.

Seperti itu pula (hijjul-baiti) apa yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh as-Syaikhani (al-Bukhari no 8, Muslim no 16, at-Tirmidzi no 2609, an-Nasai no 5001, Musnad Ahmad no 4783, 5639, 5979, 6360, dari ibn Umar. Musnad Ahmad no 18735, 18741 dari Jariir ibn Abdillah) yaitu sabda Nabi SAW: "Islam dibangun diatas 5 -hal-" sampai pada ucapan Beliau saw;"wa hijjul-baiti" seperti yang telah dikatakan Ali (ibn Muhammad) al-Usymuniyu dalam bukunya yang dilaqobi dengan 'Manhaju al-Salik'.

Adapun "hijjul baiti" dalam firman Allah awt: [walillahi 'alan-naasi hijjul-baiti manistatho'a ilaihi sabila] (ali imron: 97) -kalimat man- disana tidak menjadi fa'il tetapi keberadaan -kalimah man- adalah
  1. -Bisa sebagai- badal dari "an-nas" dari jenis badal ba'dhi min kullin kemudian ditiadakan robhitnya -dengan tujuan- supaya -mudah- memahaminya, ia (ribithnya) adalah 'manistatho'a minhum'.
  2. Menjadi Mubtada dan khobarnya dibuang; yaitu; 'fa'alaihi an yahujja'
  3. -sebagai man- syarthiyyah yang jawabnya dibunang, yaitu; 'falyhujja'. Seperti yang telah dikatakan Muhammad (ibn Ali) as-shobban dalam Hasyiyahnya. 
Perkataannya (Penulis Safinah) -terkait- Ilaihi itu -berposisi- sebagai 'aid kepada kata al-baiti yang bergantung (muta'alik) kepada -lafdz- Istatho'a. kemudian "sabilan" bisa menjadi maf'ul bih untuk istatha'a atau menjadi tamyiz. Berdasar pada pendapat guru kami 'Umar al-Biqa'i dan 'Umar al-Jabarti yang menganggap kebaikan yaitu dari sisi perjalanan.