Pengajaran Rasulullah SAW Mengenai Keutamaan Akhirat Kepada UMAR RA

Pengajaran Rasulullah SAW Mengenai Keutamaan Akhirat Kepada UMAR RA - Pengetahuan yang diwariskan Rosulullah SAW kepada para sahabat tidak terhitung banyaknya, semisal pengajarannya yang diberikan kepada Umar RA mengenai keutamaan akhirat, sangat berarti untuk memotivasi umatnya sampai akhir zaman.

Tidak sedikit dari kisah yang pernah sampai kepada kita pada masa modern ini, telah menjadi inspirasi bagi kita mengenai bagai mana cara kita menjalani kehidupan ini agar bertemu dengan kebahagiaan.

Kebahagiaan sesungguhnya bukanlah disini, namun diakhirat nanti. Kehidupan dunia yang sesungguhnya adalah untuk melaksanakan perjuangan. Perjuangan untuk menghadapi berbagai bentuk ujian yang diberikan oleh Allah swt, agar mendapatkan hasil maksimal yang akan dijadikan bekal untuk kehidupan akhirat yang abadi.

Rosulullah mengajarkan kita untuk selalu bertawakal dalam menjalani kehidupan ini. Menyerahkan setiap hasil yang akan didapatkan kepada Allah, namun disisi lain rosulullah menekankan agar kita tidak pernah lemah melakukan ikhtiar agar umatnya mandiri, menjalani hidupnya secara merdeka tanpa bergantung pada makhluk, karena umat muslim hanya bergantung kepada Allah.swt.

Pengajaran Rasulullah SAW  Mengenai Keutamaan Akhirat Kepada UMAR RA


Pengajaran Rasulullah SAW  Mengenai Keutamaan Akhirat Kepada UMAR RA

Suatu ketika Nabi saw. telah bersumpah akan berpisah dengan istri-istrinya selama satu bulan sebagai peringatan bagi mereka. Selama sebulan beliau tinggal seoang diri dalam sebuah kamar yang sederhana yang letaknya agak tinggi. Terdengar kabar dikalangan para sahabat bahwa Nabi saw. telah meneceraikan semua istrinya.

Ketika Umar bin Khaththab r.a. mendengar kabar ini, ia segera berlari ke mesjid. Setibanya disana, dia melihat para sahabat sedang duduk termenung, mereka bersedih dan menangis. Juga kaum wanita menangis di rumah-rumah mereka. Kemudian Umar r.a. pergi menemui putrinya, Hafshah r.a. yang telah dinikahi oleh Nabi saw.

Umar r.a. mendapati Hafshah r.a. sedang menangis dalam kamarnya. Umar r.a. bertanya, ”Mengapa engkau menangis? Bukankah selama ini saya telah melarangmu melakukan sesuatu yang dapat menyinggung perasaan Nabi?”

Kemudian dia kembali ke mesjid, terlihat olehnya beberapa orang sahabat sedang menangis di dekat mimbar. Kemudian ia duduk bersama para sahabat beberapa saat, lalu berjalan kearah kamar Nabi saw. yang terletak ditingkat atas mesjid. Dia mendapati Rabah r.a. seorang hamba sahaya sedang duduk di tangga kamar itu.

Melalui Rabah r.a. dia minta ijin untuk menemui Nabi saw. Rabah r.a. pergi menjmpai Nabi saw. kemudian kembali dan memberitahukan bahwa dia telah menyampaikan keinginannya, namun Rasulullah saw. hanya diam tanpa menjawab pertanyaannya. Permntaannya untuk menjumpai Nabi saw. diulang beberapa kali, hingga yang ketiga kalinya barulah Nabi saw. mengizinkan naik.

Ketika Umar r.a. masuk, dia menjumpai Nabi saw. sedang berbaring diatas sehelai tikar yang terbuat dari pelepah daun kurma, sehingga di badan Nabi saw. yang putih bersih dan indah itu terlihat bekas-bekas daun kurma. Di tempat kepala beliau ada sebuah bantal yang dibuat dari kulit binatang yang dipenuhi oleh daun dan kulit pohon kurma.

Umar r.a. bercerita, “Saya mengucapkan salam kepada beliau kemudian bertanya, “Apakah engkau telah menceraikan istri-istri engkau?”. Nabi saw. menjawab, “Tidak.”

Saya merasa sedikit lega. Sambil bercanda saya mengatakan,”Ya Rasulullah, kita adalah kaum Quraisy yang selamanya telah menguasai wanita-wanita kita. Tetapi setelah kita hijrah ke Madinah, keadaan sungguh berbeda dengan orang-orang Anshar, mereka dikuasai oleh wanita-wanita mereka sehingga wanita-wanita kita terpengaruh oleh kebiasaan mereka.”

Nabi saw. tersenyum mendengar perkataan saya. Saya memperhatikan keadaan kemar Nabi saw., terllihat tiga lembar kulit binatang yang telah disamak dan sedikit gandum di sudut kamar itu, selain itu tidak terdapat apapun, saya menangis melihat keadaan itu.

Rasulullah bertanya, “Mengapa engkau menangis?’

Saya menjawab, “Bagaimana saya tidak menangis, ya Rasulullah. Saya sedih melihat tanda tikar yang engkau tiduri di badan engkau yang mulia dan saya prihatin melihat keadaan kamar ini. Semoga Allah mengaruniakan kepada tuan bekal yang lebih banyak.

Orang-orang Persia dan Romawi yang tidak beragama dan tidak menyembah Allah, tetapi raja mereka hidup mewah. Mereka hidup dikelilingi taman yang ditengahnya mengalir sungai, sedangkan engkau adalah pesuruh Allah, tetapi engkau hidup dalam keadaan miskin.”

Ketka saya berkata demikian, Rasulullah sedang bersandar di bantalnya, beliau bangun lalu berkata,”Wahai Umar, sepertinya engkau masih ragu mengenai hal ini. Dengarlah, kehidupan di alam akhirat, tentu akan lebih baik daripada kesenangan hidup dan kemewahan di dunia ini. Jika orang-orang kafir itu dapat hidup mewah di dunia ini, kitapun akan memperoleh segala kenikmatan itu di akhirat nanti. Di sana kita akan mendapatkan segala-galanya.”

Mendengar sabda Nabi saw. itu saya menyesal, lalu berkata,”Ya Rasulullah, memohon ampunlah kepada Allah untuk saya. Saya telah bersalah dalam hal ini.”

Pelajaran dari kisah diatas
Rasulullah saw. adalah pemimpin agama dan dunia, sekaligus kekasih Allah Swt., namun beliau tidur di atas sehelai tikar yang tidak dilapisi apapun, sehingga menimbulkan goresan bekas tikar itu di badan beliau yang putih. Kita dapat mengetahui bagaimana keadaan ekonomi Rasulullah saw. ketika Umar r.a. mengajurkan beliau agar berdoa kepada Allah supaya diberi harta, beliau malah memperingatkannya.

Seseorang bertanya kepada Aisyah r.a. mengenai tempat tidur Rasulullah saw. Aisyah r.a. menjawab, “Bantalnya itu tebuat dari kulit binatang yang diisi dengan kulit pohon kurma.”

Pertanyaan yang sama dikemukakan kepada Hafshah r.a. Dia menjawab, “ Tikarnya terbuat dari sehelai kain yang dilipat dua.

Pada suatu hari untuk memberi kenyamanan kepada Nabi saw., saya telah menghamparkan kain itu berlipat empat.

Keesokan harinya Nabi saw. bertanya, “Apakah yang telah engkau hamparkan tadi malam sehingga terasa lebih empuk?” Saya menjawab,” Kain yang sama, tetapi saya melipatnya empat lipatan.” Beliau saw. bersabda,”Lipatlah seperti semula, kenyamanan seperti tadi malam akan menghalangi shalat tahajjudku.”(Syamail Tirmidzi)

Keadaan kita saat ini selalu ingin tidur nyaman diatas kasur yang empuk. Lihatlah Rasulullah saw. padahal Allah Swt. pernah menawarkan harta kekayaan yang banyak kepada beliau, namun beliau menolaknya. Beliau tidak mengeluh sedikitpun.

Intinya kesabaran dan keikhlasan menjalankan kehidupan ini dengan karena Allah semata harus menjadi akhlak kaum muslimin.

Hidup sederhana tidak serta merta mengatakan diri tidak mampu, namun jadikanlah kesederhanaan hidup ini sebagai bagian dari pilihan yang diambil. Hidup sederhana bukan berarti harus tidak punya apa-apa, karena rosulullah pun melarang umatnya untuk bergantung kepada makhluk.

Kemandirian akan menyelamatkan seseorang dari ketergantungan kepada makhluk sehingga kemandirian hidup harus menjadi pilihan. Kesederhanaan jangan diartikan tidak memiliki harta tetapi sederhana adalah tidak berlebihan dalam menggunakan harta, seperti yang dicontohkan oleh Rosulullah saw. Dia sangat bisa memohon kelimpahan harta, namun memilih untuk sederhana agar umatnya tidak tertipu dengan dunia. Wallhu a'lam bish showwab